-
Mencapai Kedaulatan Rakyat (Suatu Refleksi Sejarah Pembangunan di Daerah)
2017-06-22 09:49:46Mencapai Kedaulatan Rakyat
(Suatu Refleksi Sejarah Pembangunan di Daerah)
Oleh Karolus Charlaes Bego, S.H., M.Sc.
Dosen Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah Politik
Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Flores
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea kedua tertulis dengan tegas dan jelas. “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”.
Usia kemerdekaan bangsa Indonesia telah mencapai 72 tahun. Bahkan, di jedah perjalanan bangsa, tahun 1998 telah terjadi satu peristiwa politik yang melahirkan era reformasi sebagai protes atas sistem pemerintahan yang otoriter sentralistis di bawah kepemimpinan rezim Soeharto ke pemerintahan yang demokratis humanis dengan melahirkan daerah otonomi sebagai kiat membangun daerah-daerah berdaulat dan makmur. Pertanyaannya, apakah dalam pelaksanaan otonomi daerah, sudahkah rakyat dan pemerintahnya memiliki kedaulatan? Pertanyaan ini diajukan agar sebagai rakyat dan sebagai pemerintah, kita mampu berintrospeksi diri sehingga kehidupan bersama tidak mengalami disharmoni.
Seiring berjalannya waktu, daerah-daerah yang menyelenggarakan otonomi daerah terasa hidup sebagai individu-individu juga komunitas-komunitas yang masih terjajah. Anehnya, banyak rakyat dan pemerintah daerah tidak menyadari bahwa dirinya sedang dijajah. Mungkin kita terlalu sibuk dengan berbagai kepentingan diri dan kelompok kita masing-masing sehingga kita lupa pada kondisi yang kita hadapi saat ini. Kalau mau jujur, sesungguhnya masih banyak rakyat yang belum hidup merdeka. Masih ada penjajahan yang dibuat sesama saudara sebangsa Indonesia sendiri, dalam aneka gatra dan kategori kehidupan.
Kemerdekaan bisa kita alami dengan berdaulat, jika didukung oleh perubahan cara hidup, proses hidup, serta keberanian moral mencapai kedaulatan rakyat di setiap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini, pemimpin bangsa dan daerah perlu merancang kebijakan pro rakyat dan melaksanakannya sebagai produk politik daerahnya dalam upaya mencapai kedaulatan rakyat. Baik itu kedaulatan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, politik, dan lain-lain.
Dalam gatra politik, misalnya, jika kita menggunakan pisau bedah Aristoteles tentang politik sebagai suatu upaya yang dilakukan seseorang atau individu, dan atau kelompok tertentu untuk mewujudkan kebaikan bersama, maka kondisi daerah kita hari ini menunjukkan berbagai ketimpangan akibat implementasi pelaksanaan otonomi daerah yang merupakan produk politik pascareformasi 1998. Politik kini dianggap sebagai upaya membangun relasi kekuasaan, kaya semakin kaya dan miskin terus jatuh ke jurang kemiskinan.
Kedaulatan rakyat yang teramanah dalam UUD 1945 dan menjadi arah perjuangan bangsa seakan hilang dalam memori kolektif rakyat maupun pemimpinnya. Tentu merupakan sesuatu kondisi yang perlu kita perhatikan bersama. Implementasi pembangunan di daerah mesti berpihak kepada seluruh rakyat tanpa kecuali, bukan misalnya, diarahkan untuk memenuhi produk politik partai politik tertentu, mementingkan keinginan orang tertentu, golongan dan kelompok tertentu, apalagi keinginan orang tertentu. Kita sangat berharap agar pemimpin daerah harus menjadikan dirinya untuk seluruh rakyat. Memposisikan diri sebagai pelayan masyarakat banyak yang tengah dahaga merindukan sentuhan pembangunan.
Untuk kemaslahatan rakyat tersebut, maka pemimpin daerah juga harus bersedia menerima kritik dan saran dari rakyat jika ingin kepemimpinannya menjadi baik. Kritik dari rakyat adalah sebuah produk pemikiran rakyat yang selama ini cenderung dipersepsi sebagai hal yang negatif. Namun, kalau kita cermati, apapun bentuknya, kritik pasti bersifat membangun. Kritik adalah suplemen konstruktif untuk senantiasa mengingatkan pemimpin-pemimpin kita. Kritik juga adalah wujud kepedulian rakyat terhadap pemimpinnya agar tidak terjerumus ke dalam jurang kesalahan yang dalam.
Menengok pada sejarah bangsa, kita menemukan adanya usaha para pendiri bangsa memberi contoh untuk berani berpikir sendiri dan meninggalkan sikap inferioritas. Inilah yang belum melekat dalam kepribadian pemimpin daerah saat ini. Mentalitas pemimpin dewasa ini yang suka mengekor kebijakan di tempat lain sesungguhnya menunjukkan bahwa pemimpin daerah tersebut tidak memiliki kedaulatan diri dalam membangun daerahnya.
Pemimpin daerah harus mampu menjawab permasalahan yang dihadapi rakyat. Membuka akses dan kapasitas infrastruktur di bidang pertanian, kelautan, penguatan industri rumah tangga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Jika tidak ingin gagal dalam pelaksanaan pembangunan, terutama membawa keluar masyarakat dari kungkungan kekurangan berbagai kebutuhan pokok yang memunculkan kemiskinan akut yang dialami selama ini, maka program dan pelaksanaan pembangunan pun mesti terus bermuara pada kebutuhan rakyat.
Jika tidak, maka masyarakat dan kehidupan masa depan generasinya akan tetap sediakala. Dengan demikian, intervensi pemerintah daerah menjadi penting dalam pelaksanaan roda pembangunan. Bahwa kedaulatan rakyat mesti menjadi prioritas dalam setiap wujud pembangunan. Model pembangunan yang holistik menyentuh pembangunan lahir dan batin, fisik dan nonfisik, menyeluruh, adil dan merata tanpa pilih kasih, dan menjangkau yang tidak terjangkau niscaya menjadikan masyarakat mengalami suatu kemerdekaan. Inilah esensi kemerdekaan sesungguhnya yang niscaya pula semakin menjadikan masyarakat marasa bersatu, semakin teguh persatuan antarindividu dan masyarakat, bersatu dengan pemimpinnya, merasa berdaulat hidup di bumi ini, tanah ini, dan bangsanya sendiri, karena di sinilah ada keadilan dan kemakmuran yang mereka dapatkan. *
Berita Terkait
- Selamat Jalan Sang Visioner
- Universitas Flores Sebagai Mediator Budaya
- Rancangan Undang-Undang dan Peraturan Daerah
- SBY Percaya Ilmu Hitam?
- Jejak Novel dalam Sastra NTT
- Kompetensi Guru dalam Pembelajaran
- Bersyukur Menjadi Pendidik
- Mata Air: Keniscayaan bagi Pejabat
- PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN HUKUM
- Obligasi dan Pembangunan Daerah
- Pengalaman Mengajar di Australia
- Hukum Berkeadilan Gender
- Perencanaan Desa sebagai Basis Perubahan
- Carilah Perguruan Tinggi yang Legal
- Peraturan Gempa dan Risiko Bangunan
- Strategi Marketing Politik
- Wisuda, Selebrasi Keberhasilan
- Penyair Perintis dalam Sastra NTT
- Judul Skripsi Hasil Penelitian Tindakan Kelas
- Momentum Pemilu 9 April 2014
- Perihal Izin Mendirikan Bangunan
- Wakil Rakyat, Jangan Lupa Janji
- Melacak Jejak Novel dalam Sastra NTT
- Asesmen Unjuk Kerja
- Peran Institusi dalam Pertumbuhan Ekonomi
- Pentingnya Kecerdasan Emosional
- Sastra NTT Sampai Desember 2013
- Mempersoalkan Bahasa Asing di Tempat Wisata
- Rencana Pemugaran Sao Keda di Wolotolo
- "Petite Histoire" Soekarno di Ende
- Peran Uniflor dalam Memasyarakatkan Sastra NTT
- Minat Baca Terkubur Bersama Peti Mati
- "English Day" di Kampus, Mengapa Tidak?
- Tenun Ikat Ende-Lio dan Memori Kolektif
- Tahapan Memugar Sao Keda di Wolotolo
- Artikel Ilmiah bagi Seorang Dosen
- In Memoriam Bapak Ema Gadi Djou
- Selamat Jalan Bapak Ema Gadi Djou
- Guru Kehidupan Itu Telah Pergi
- Bapak Herman Joseph Gadi Djou
- Ejaan dalam Penulisan Artikel Opini
- Kecerdasan Emosional Remaja Putri
- Arsitektur Uniflor Masuk 10 Besar
- Dosen Profesional dan Mutu Akademik
- Korupsi Kemanusiaan
- Menulis Abstrak dan Terjemahannya
- Membiasakan Kebenaran, Bukan Membenarkan Kebiasaan
- Kemitraan dalam Pendidikan
- Kuliah Bahasa, Kuliah Menulis
- Internet dan Anak Usia Dini
- Pengawal Inspirasi Pancasila
- Lokalitas dalam Sastra NTT
- Dampak Teknologi Informasi bagi Kaum Remaja
- Universitas Flores sebagai Mediator Budaya
- Naskah Akademik Rancangan UU dan Perda
- Apakah SBY Percaya Ilmu Hitam?
- Sastra NTT dalam Kajian Mahasiswa Uniflor
- Motivasi Mengajar yang Jitu
- Daya Sihir Artikel Opini
- Kembalikan Lapangan Perse Kami
- Bermain Drama: Audiovisualisasi Naskah Pentas
- Membangun Ende dengan "Hobi"
- Standard Setting Kompetensi Belajar
- Giat Bersastra sebagai Revolusi Mental
- Kajian Naskah Akademik Penanaman Modal
- Moral Responsibility of Resolution
- Bengkel Sejarah: Rumah Guru Sejarah
- Dari Taman Remaja ke Taman Renungan Bung Karno
- Tahapan Menulis Artikel Opini
- Tata Zonasi Permukiman Adat Desa Nggela
- Reformasi Birokrasi untuk Kepentingan Rakyat
- Pendidikan Nilai Membentuk Karakter Siswa
- Dicari, Seniman Drama dan Film
- Pisau Itu Bernama Media Sosial
- Modal Sosial Membangun Masyarakat Desa
- Mengurus Akta Jual Beli Tanah
- Sejarah Awal Sastra NTT
- Jenis-Jenis Artikel Opini
- Koperasi sebagai Sokoguru Perekonomian
- Memuliakan Tulisan
- Membangun Kultur Damai di Sekolah
- Peran Serta Masyarakat dalam Pembentukan Hukum
- Membaca sebagai Proses Belajar Mandiri
- Debat Sastra Berujung Pidana?
- Bergesernya Nilai Monumental Kota Ende
- Fenomena Tanah Longsor
- Alat Bukti pada Hukum Acara PTUN
- Awal Mula Agama Katolik di Flores Lembata
- Koperasi Kredit Pengupas Kemiskinan
- Kunci Sukses Usaha Rumah Makan
- Sastra dan Kasus Perdagangan Manusia
- Memilih Perguruan Tinggi yang Legal
- Manusia Keturunan Kera?
- Olahraga Futsal di Kota Ende
- Apa Beda MEA dan "Mea"?
- Mahasiswa Uniflor dan Budaya Membaca
- Lera Wulan Tana Ekan
- Dialektologi, Titian Menuju Identitas Lokal
- Jalan Soekarno di Dunia
- Tradisi Lisan, Wujud Tenunan Kehidupan Manusia
- Menyelamatkan Roh Bahasa Ritual
- Sagi Bukan Budaya Kekerasan
- Koperasi Hadapi Tantangan MEA
- Soekarno dan Komunisme
- Menenun Dalam Arsitektur
- Memahami Arah Pendidikan dari Kampung Menuju ke Kampung
- Intip Biografi Intelektual Dr. Dra. Imaculata Fatima, M.M.A.
- Ende City Branding, Ende Last Paradise
- Cinta Sayur Lodeh, Soekarno dan Hartini
- Menakar Identitas Kolektif (Boruk Tana Bojang)
- Pendidikan Cerdas Orang Yahudi
- Bahasa Lokal di Flores Lembata
- Sastra Anak sebagai Pembentuk Karakter Anak
- Rasionalitas Otoritas Negara
- Wacana Penguasa
- Absurditas Sejarah Kuasa
- Bahasa Ibu dan Pembentukan Karakter
- Sarjana dan Return on investment
- Makna Akreditasi B Universitas Flores
- Mengurus Sertifikat Tanah
- Sarjana Bervisi Entrepreneurship
- Merawat Bahasa Indonesia Sebagai Jiwa Bangsa
- Prisma Gagasan Generasi Muda
- Doa untuk Keselamatan Jiwa Atau Keselamatan Arwah ?
- Membaca: Sumber Energi Menulis
- Sejarah Kata Anda
- Menghindari Erosi Kebangsaan Melalui Jalan Budaya
- Natal: Inkarnasi Logos
- Unsur 5W+1H dalam Penulisan Berita
- Merawat Sejarah Monumental
- Mencerna Fenomena Hoax
- Melawan Praktik Kekuasaan Demokrasi Ketidakadilan
- Artikel Ilmiah untuk Jurnal Ilmiah
- Kliping, Sarana Meningkatkan Minat Baca
- Filosofi Taman Pendidikan
- Mengelola Pantai Ria di Kota Ende
- Merawat NKRI
- Jejaring Nilai Pendidikan Karakter
- Konflik Sosial Antara: Kita, Kami, Kamu, dan Mereka
- 2 MEI
- Polemik Logika Sosiologi
- Politik Identitas Memicu Konflik Hirizontal
- Jasa Kependidikan Mesti Bergayut Dengan Dunia Kerja
- Mencapai Kedaulatan Rakyat (Suatu Refleksi Sejarah Pembangunan di Daerah)
- Tips Bagi Peserta KKN
- 2 Mei
- Pendaran Energi Kejeniusan Lokal
- Mengapa Pendidikan Kita Selalu Tertinggal?
- Kode Semiotik Dalam Permainan Ceha Kila
- Universitas Flores: Rahim Persemaian Nilai
- Kepedulian Mengajar dan Mengajarkan Kepedulian
- Budaya Membaca Teks Ilmiah
- JUAL BELI TANAH TAMPA SERTIFIKAT
- PARADIGMA PEMBELAJARAN K - 13
- Merantau
- Wisuda : Transformasi Dimensi Ritualistik ke Demensi Kompetensi
- Kritik Atas Politik Misogini
- Prosedur Mengurus Sertifikat Tanah
- Evolusi Ekologi Kota Ende
- Tindak Penipuan Melalui Komputerisasi
- Pariwisata Alternatif di Kabupaten Ende
- kUASA kATA
- Bahasa Dan Sastra Sebagai Jatidiri Bangsa
- Kritik Sastra Indonesia Dalam Dua Arus
- Penyimpangan Fungsi Trotoar
- Betonisasi di Tempat Wisata:Masalah Atau Solusi
- Memoria Opus Magnum Etnolog Verheijen
- Minat Membaca Dan Menulis Mahasiswa Uniflor
- Wisata Pangan Lokal
- Pilkada Ende: Menuju Bonum Commune
- Unsur Manajemen Dalam Visi dan Misi Paslon Pilkada
- Pilkada dan Olahraga
- Membangun Jiwa Kewirausahaan Mahasiswa